Oleh : Budi Hartono
Pernahkah kita
bertanya sewaktu mata kita menatap kelangit, kita melihat sekumpulan burung
yang terbang membentuk formasi tertentu. Demikian pula jika kita melihat
kedalam lautan, ikan-ikan selalu berge-rombol dan membentuk suatu kumpulan. Apalagi
binatang yang ada didarat, kita melihat hewan ternak atau binatang liar
berperilaku serupa dan lebah, semut membentuk koloni. Hampir semua binatang berperilaku
serupa dengan spesies sejenis selalu berinteraksi, bergerak dari satu tempat ke
tempat lainnya secara bersama-sama, mencari makan bersama dan berimigrasi ke tempat
yang lebih baik untuk menemukan sumber makanan secara bersama. Pada dasarnya
hampir semua jenis binatang bersosialisasi, berinteraksi, berkumpul bahkan melakukan
pembagian kerja untuk menjaga kelangsungan hidup spesiesnya. Hanya beberapa
jenis binatang seperti beruang yang tidak bersosialisasi dan berkelompok dengan
sejenisnya. Binatang berperilaku demikian untuk melindungi satu sama lain
sehingga terus bertahan dari kepunahannya. Ini seperti apa yang kita lihat di
televisi, harimau atau singa saat memangsa sekumpulan kerbau atau zebra, ia
akan membuat kumpulan itu tercerai berai dan hewan yang terpisah dari
kelompoknya yang akan mudah untuk dimangsa.
Jika binantang berperilaku berkelompok, bagaimana dengan spesies manusia?
Apakah ia berperilaku demikian? Coba kita telusuri sejarah manusia purba, pada
saat ahli arkeologi menemukan fosilnya mereka tidak sendiri tetapi dalam
kelompok fosil. Semakin berkembang jumlah manusia terbentuklah suku-suku,
kerajaan dan akhirnya membentuk sebuah negara. Manusia berkelompok dalam jumlah
besar di kota-kota besar bahkan pengelompokan ini semakin meningkat karena
terjadi urbanisasi. Naluri untuk bersoasialisasi, berinteraksi dan berkelompok
mempunyai tujuan melangsungkan perkembangbiakan spesiesnya melalui perkawinan
dan mencari makan. Naluri herding membuat
manusia terjaga dari kelangsungan hidupnya.
Motivasi herding
Apa yang mendorong mengapa manusia berperilaku herding ? Ini telah lama di observasi oleh para ahli psikologi dari
abad sebelumnya. Sigmund Freud menyebut perilaku tersebut dengan psikologi
kerumunan (crowd psycology) dan Karl
Jung menyebut dengan istilah ketidaksadaran kolektif. Penjelasan terkini atas
perilaku tersebut diajukan oleh psikologi evolusioner[1],
yang menyatakan bahwa naluri berkerumun/berkelompok terbentuk melalui proses
evolusi manusia selama sejarah keberadaannya untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Bila secara fisik binatang membentuk perilaku berkelompok melalui proses
evolusi untuk bertahan hidup dan mempertahankan spesiesnya. Manusia membentuk
perilakunya tidak hanya melalui perubahan fisik tetapi meliputi perubahan
mentalnya. Secara psikologis manusia mengembangkan diri merespon lingkungannya berupa
insting dasar untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Herding adalah perilaku dasar (instinct) binatang yang cenderung berkelompok
dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya secara bersama. Jika menyatu
dalam kelompok mereka merasa lebih aman karena kemungkinan dimangsa predator
lebih kecil dibandingkan mereka sendirian. Kondisi tersebut tidak berbeda jauh
dengan manusia, mereka sanggup mempertahankan kelangsungan hidupnya karena
mereka tidak sendiri, mereka adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendiri. Albert Bandura menjelaskan bahwa manusia melakukan proses belajar
dengan mengamati perilaku orang lain dan mengikuti perilaku terebut. Mereka
cenderung mengikuti jejak yang telah ada, seperti kecenderungan individu
mengikuti jejak dijalan yang telah dibuat sebelumnya oleh orang lain dan tidak
membuat jejak sendiri. Manusia cenderung menangkap emosi orang lain dan
cenderung tertular dengan emosi yang sama (Hsee et al, 1990), seperti garpu tala, bila diketuk dengan nada G, maka
garpu tala yang ada didekatnya akan mengalunkan nada yang sama. Pengaruh
perilaku dalam interaksi, proses belajar dan penularan emosi menjadi sebab
mengapa individu mempunyai kecenderungan untuk meniru atau serupa dalam
kelompoknya.
Sebagaimana diilustrasikan pada gambar rumah makan dan kerumunan, menurut anda rumah makan mana
yang mempunyai menu yang enak? Mengapa orang rela mengantri padahal rumah makan
disebelahnya sepi? Jika anda ingin mencoba menu dari kedua rumah makan tersebut,
rumah makan mana yang akan anda pilih? Pada umumnya orang menyimpulkan bahwa rumah
makan yang banyak pengunjungnya mempunyai menu makanan yang enak, sinyal
tersebutmembuat kecenderungan orang mengikuti dan berpikir antrian tersebut sebagai
sinyal tentang lezatnya makanan.
Herding perilaku ekonomi.
Perilaku herding dalam ilmu ekonomi
telah lama dikemukan John Maynand Keynes dengan menyebutnya istilah “animal spirit”. Menurut Hirshleifer dan
Teoh (2003) kecenderungan individu untuk berperilaku meniru dan serupa
mempunyai beberapa sebab, yaitu: 1) adanya imbalan dengan meniru, 2) hukuman
terhadap penyimpangan, 3) kebutuhan untuk berinteraksi, 4) komunikasi langsung,
5) terpengaruh dari mangamati orang lain. Imbalan dan hukuman seringkali
membuat orang menjadi berperilaku mengikuti umumnya. Sebagaimana dikatakan oleh
Soros (1985) bahwa pedagang mata uang yang tidak mengikuti kecenderungan, maka
ia akan membayar mahal. Pedagang yang tidak mengikuti kecenderungan, berarti ia
melawan arah pasar, akibatnya ia akan banyak menderita kerugian. Sebaliknya
pedagang yang mengikuti kecenderungan ia akan memperoleh keuntungan, karena
berada dalam kecenderungan yang menentukan arah pergerakan pasar. Perilaku
meniru seringkali timbul karena pelaku tidak mempunyai informasi, sehingga cara
paling aman adalah mengikuti informasi dari lainnya.
Herding dalam analisis tingkah
laku pasar diartikan sebagai kecenderungan dari banyak pelaku pasar membuat
keputusan dirinya serupa (similar)
pada waktu yang sama dengan lainnya. Tingkah laku herding bisa timbul melalui adanya percakapan antar individu dalam
kelompok (Shiller, 1995) dan belajar melalu interaksi sosial. Atau tingkah laku
individu yang mengikuti aksi dari tingkah laku orang yang lebih dulu tanpa mengetahui
informasi apa yang mendasari individu awal bertingkah laku (information cascade) (Bikhchandani et al, 1992). Percakapan dan tingkah
laku meniru menciptakan psikologi massa
karena keputusan pelaku pasar yang serupa walaupun tingkah laku tersebut bersandar
pada informasi yang sedikit. Perilaku herding
dan interaksi sosial menjelaskan mengapa terdapat kecenderungan saham dalam
satu kawasan bergerak bersama, jika pada pasar modal tidak tersedia informasi
maka pelaku pasar cenderung mengikuti informasi yang ada pada pasar yang
mempunyai informasi yang kuat, seperti kecenderungan orang mengikuti jejak yang
telah ada bila tidak tersedia informasi yang lebih baik.
Kita dapat mengingat kembali semua kejadian ekonomi disekitar kita
sehari-hari, bagaimana perilaku herding
mempengaruhi orang mencari makan. Pada saat di Jakarta orang yang menjual
pisang goreng Pontianak yang laris manis. Dijalan-jalan bermunculan lapak-lapak
yang menjual pisang goreng yang sama, walaupun pada akhirnya menghilang hampir semuanya.
Pada tahun 2006-2008, kita mendengar bagaimana kegilaan harga Anthurium, banyak
orang membicarakannya dan berbondong-bondong banyak orang menanamnya karena
dianggap sebagai investasi yang menguntungkan. Pada saat banyak orang
menanamnya, penawaran Anthurium meningkat, harga jatuh dan tidak ada seorangpun
yang berani berkata menanam Anthurim adalah cara untuk menjadi cepat kaya.
Perilaku herding dalam kehidupan ekonomi
sehari-hari kita sebut dengan perumpamaan “ada gula ada semut”, bila ada sesuatu
yang menguntungkan, terdapat kecende-rungan banyak orang untuk menirunya.
Perilaku meniru yang mempunyai dampak luar biasa merusak dalam
perekonomian Indonesia adalah saat terjadinya rush perbankan (bank run)
saat krisis moneter 1998. Sewaktu gubernur Bank Indonesia mengumumkan untuk melikuidasi
16 bank pada 1 Nopember 1997 dengan tidak menjamin simpanan uang nasabah.
Keputusan tersebut ternyata menciptakan ketakutan dan kepanikan masyarakat
kehilangan uang simpanannya di bank. Rasa tidak aman dan tidak percaya membuat masyarakat
segera menarik uangnya, ATM mengantri, antrian memanjang di teller bank. Televisi menyiarkan, koran menjadikan headline, percakapan atas kepanikan dan
ketakutan menular, media massa secara tidak sadar mempersuasi orang untuk
menyebarkan ketakutan dan kepanikan. Semakin hari antrian menarik uang dari
bank semakin banyak, orang yang semula percaya bahwa bank tersebut bagus mulai
ragu, ia takut menjadi orang yang akhirnya kehilangan uangnya karena banyak
orang sudah menyelamatkan diri. Bank yang sebelumnya sehat, tetapi karena
perilaku herding dengan menarik uang
dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan akan menjadi bank sehat menjadi sakit.
Banyak kasus bank run di berbagai negara
terindentifikasi bahwa perilaku herding
sangat merusak, walaupun sebelumnya bank tersebut sehat atau setengah sakit
perilaku tersebut secara cepat membunuhnya.
Pada awalnya, kebijakan melikuidasi bank yang dimaksudkan untuk
memperbaiki perbankan yang sakit sebagaimana disyaratkan dalam Letter of Intent dengan IMF ternyata
berdampak sebaliknya. Kebijakan tersebut merusak kepercayaan masyarakat dan
membuat panik nasabah yang pada akhirnya membuat banyak bank menjadi sakit. IMF
adalah penganut ekonomi neo-klasik yang tidak mempertimbangkan dampak kebijakan
terhadap perilaku manusia. Ekonomi
neo-klasik menganggap bahwa manusia seperti kalkulator dingin dalam berhitung
dan membuat keputusan, tanpa emosi, tanpa perasaan. Kenyataan hidup
sehari-hari, manusia adalah mahkluk yang tidak sepenuhnya rasional, keputusan
yang di buatnya tidak hanya dipertimbangkan dengan rasionya tetapi juga
dipengaruhi oleh emosi yang kadang terasa berlebihan.
Herding di Pasar Modal
Fenomena herding ini ditemukan
pada tingkah laku pelaku pasar modal, baik individu, institusi, manajer dana (fund manager)[2]
dan analsis saham di pasar modal. Jagadeesh dan Kim (2007) menemukan tingkah
laku herding pada analis saham, rekomendasi
yang diberikan tentang target harga dan prediksi laba cenderung tidak berbeda dengan
rekannya di sekuritas lain dan cenderung menciptakan konsensus. Ini dapat di
gambarkan demikian, bila sudah banyak analis saham yang merekomendasikan saham
A dengan predikat buy, maka analis
saham yang baru memberi rekomendasi cenderung mengikuti konsensus buy. Brunnermeier dan Nagel (2004)
menyatakan bahwa pelaku arbitrase untuk mengeliminasi mispricing harga saham menunggu dan mengikuti aksi pelaku arbitrase
lainnya, mereka tidak menentang arah pasar tetapi mengikuti arah pasar. Kita
masih bisa mengingat ambruknya IHSG selama tiga hari berturut-turut pasca
lebaran tahun 2008, semua investor mengalami panic selling, indeks pasar tiap hari merosot 10% sehingga pasar
harus di suspend. Siapapun yang
menentang arah pasar pada waktu itu, dengan melakukan pembelian akan menderita
kerugian.
Perilaku herding menciptakan
saham bersifat fads and fashion atau
dalam analisis statistik ditemukan pola tail
and fads (distribusi imbal hasil membentuk kurtosis atau ekor gemuk),
karena saham dengan sektor tertentu menjadi mode dan terus diburu oleh
investor, sebagai contoh pada menjelang akhir tahun 2006 di Bursa Efek
Indonesia, saham-saham perbankan dan properti menjadi popular karena diburu
investor dengan adanya sentimen penurunan suku bunga pasca kenaikan bahan
bakan, dan pada tahun 2007 saham komoditi (pertanian dan pertambangan) menjadi
mode dengan disokong sentimen booming
harga komoditas. Menurut Cont dan Bouchaud (2000) herding ini membuat pasar modal menjadi berfluktuasi, karena pada
saat saham sektor tertentu naik banyak yang memindahkan dananya pada saham yang
booming, dan serentak menjual secara
bersamaan dan mengakibatkan penurunan yang tajam. Fluktuasi yang tajam dalam
harga pasar yang diterangkan oleh perilaku herding adalah keberadaan gelembung
dan peluruhan harga asset.
[1] Psikologi evolusioner adalah salah satu pendekatan biologis untuk
mempelajari perilaku manusia. Seiring
dengan psikolog kognitif, psikolog evolusioner mengusulkan
bahwa banyak, jika tidak semua,
perilaku kita dapat dijelaskan dengan
mekanisme psikologis internal.
[2]
Grinblatt el al (1985) menemukan
bagaimana strategi manajer reksadana pada periode 1975-1984 dalam membeli saham
didasarkan pada strategi momentum, dan strategi ini menjadi trend-followers karena imbal hasil yang
tinggi dan tingkah laku herding membuat harga saham bergerak terus naik dan
terus turun.