Minggu, 09 Oktober 2011

Perlaku Meniru dalam Ekonomi

Oleh : Budi Hartono

Pernahkah kita bertanya sewaktu mata kita menatap kelangit, kita melihat sekumpulan burung yang terbang membentuk formasi tertentu. Demikian pula jika kita melihat kedalam lautan, ikan-ikan selalu berge-rombol dan membentuk suatu kumpulan. Apalagi binatang yang ada didarat, kita melihat hewan ternak atau binatang liar berperilaku serupa dan lebah, semut membentuk koloni. Hampir semua binatang berperilaku serupa dengan spesies sejenis selalu berinteraksi, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya secara bersama-sama, mencari makan bersama dan berimigrasi ke tempat yang lebih baik untuk menemukan sumber makanan secara bersama. Pada dasarnya hampir semua jenis binatang bersosialisasi, berinteraksi, berkumpul bahkan melakukan pembagian kerja untuk menjaga kelangsungan hidup spesiesnya. Hanya beberapa jenis binatang seperti beruang yang tidak bersosialisasi dan berkelompok dengan sejenisnya. Binatang berperilaku demikian untuk melindungi satu sama lain sehingga terus bertahan dari kepunahannya. Ini seperti apa yang kita lihat di televisi, harimau atau singa saat memangsa sekumpulan kerbau atau zebra, ia akan membuat kumpulan itu tercerai berai dan hewan yang terpisah dari kelompoknya yang akan mudah untuk dimangsa.
Jika binantang berperilaku berkelompok, bagaimana dengan spesies manusia? Apakah ia berperilaku demikian? Coba kita telusuri sejarah manusia purba, pada saat ahli arkeologi menemukan fosilnya mereka tidak sendiri tetapi dalam kelompok fosil. Semakin berkembang jumlah manusia terbentuklah suku-suku, kerajaan dan akhirnya membentuk sebuah negara. Manusia berkelompok dalam jumlah besar di kota-kota besar bahkan pengelompokan ini semakin meningkat karena terjadi urbanisasi. Naluri untuk bersoasialisasi, berinteraksi dan berkelompok mempunyai tujuan melangsungkan perkembangbiakan spesiesnya melalui perkawinan dan mencari makan. Naluri herding membuat manusia terjaga dari kelangsungan hidupnya.

Motivasi herding
Apa yang mendorong mengapa manusia berperilaku herding ? Ini telah lama di observasi oleh para ahli psikologi dari abad sebelumnya. Sigmund Freud menyebut perilaku tersebut dengan psikologi kerumunan (crowd psycology) dan Karl Jung menyebut dengan istilah ketidaksadaran kolektif. Penjelasan terkini atas perilaku tersebut diajukan oleh psikologi evolusioner[1], yang menyatakan bahwa naluri berkerumun/berkelompok terbentuk melalui proses evolusi manusia selama sejarah keberadaannya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bila secara fisik binatang membentuk perilaku berkelompok melalui proses evolusi untuk bertahan hidup dan mempertahankan spesiesnya. Manusia membentuk perilakunya tidak hanya melalui perubahan fisik tetapi meliputi perubahan mentalnya. Secara psikologis manusia mengembangkan diri merespon lingkungannya berupa insting dasar untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Herding adalah perilaku dasar (instinct) binatang yang cenderung berkelompok dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya secara bersama. Jika menyatu dalam kelompok mereka merasa lebih aman karena kemungkinan dimangsa predator lebih kecil dibandingkan mereka sendirian. Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan manusia, mereka sanggup mempertahankan kelangsungan hidupnya karena mereka tidak sendiri, mereka adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Albert Bandura menjelaskan bahwa manusia melakukan proses belajar dengan mengamati perilaku orang lain dan mengikuti perilaku terebut. Mereka cenderung mengikuti jejak yang telah ada, seperti kecenderungan individu mengikuti jejak dijalan yang telah dibuat sebelumnya oleh orang lain dan tidak membuat jejak sendiri. Manusia cenderung menangkap emosi orang lain dan cenderung tertular dengan emosi yang sama (Hsee et al, 1990), seperti garpu tala, bila diketuk dengan nada G, maka garpu tala yang ada didekatnya akan mengalunkan nada yang sama. Pengaruh perilaku dalam interaksi, proses belajar dan penularan emosi menjadi sebab mengapa individu mempunyai kecenderungan untuk meniru atau serupa dalam kelompoknya.
Sebagaimana diilustrasikan pada gambar rumah makan dan kerumunan, menurut anda rumah makan mana yang mempunyai menu yang enak? Mengapa orang rela mengantri padahal rumah makan disebelahnya sepi? Jika anda ingin mencoba menu dari kedua rumah makan tersebut, rumah makan mana yang akan anda pilih? Pada umumnya orang menyimpulkan bahwa rumah makan yang banyak pengunjungnya mempunyai menu makanan yang enak, sinyal tersebutmembuat kecenderungan orang mengikuti dan berpikir antrian tersebut sebagai sinyal tentang lezatnya makanan.

Herding perilaku ekonomi.
Perilaku herding dalam ilmu ekonomi telah lama dikemukan John Maynand Keynes dengan menyebutnya istilah “animal spirit”. Menurut Hirshleifer dan Teoh (2003) kecenderungan individu untuk berperilaku meniru dan serupa mempunyai beberapa sebab, yaitu: 1) adanya imbalan dengan meniru, 2) hukuman terhadap penyimpangan, 3) kebutuhan untuk berinteraksi, 4) komunikasi langsung, 5) terpengaruh dari mangamati orang lain. Imbalan dan hukuman seringkali membuat orang menjadi berperilaku mengikuti umumnya. Sebagaimana dikatakan oleh Soros (1985) bahwa pedagang mata uang yang tidak mengikuti kecenderungan, maka ia akan membayar mahal. Pedagang yang tidak mengikuti kecenderungan, berarti ia melawan arah pasar, akibatnya ia akan banyak menderita kerugian. Sebaliknya pedagang yang mengikuti kecenderungan ia akan memperoleh keuntungan, karena berada dalam kecenderungan yang menentukan arah pergerakan pasar. Perilaku meniru seringkali timbul karena pelaku tidak mempunyai informasi, sehingga cara paling aman adalah mengikuti informasi dari lainnya.
Herding dalam analisis tingkah laku pasar diartikan sebagai kecenderungan dari banyak pelaku pasar membuat keputusan dirinya serupa (similar) pada waktu yang sama dengan lainnya. Tingkah laku herding bisa timbul melalui adanya percakapan antar individu dalam kelompok (Shiller, 1995) dan belajar melalu interaksi sosial. Atau tingkah laku individu yang mengikuti aksi dari tingkah laku orang yang lebih dulu tanpa mengetahui informasi apa yang mendasari individu awal bertingkah laku (information cascade) (Bikhchandani et al, 1992). Percakapan dan tingkah laku meniru menciptakan psikologi massa karena keputusan pelaku pasar yang serupa walaupun tingkah laku tersebut bersandar pada informasi yang sedikit. Perilaku herding dan interaksi sosial menjelaskan mengapa terdapat kecenderungan saham dalam satu kawasan bergerak bersama, jika pada pasar modal tidak tersedia informasi maka pelaku pasar cenderung mengikuti informasi yang ada pada pasar yang mempunyai informasi yang kuat, seperti kecenderungan orang mengikuti jejak yang telah ada bila tidak tersedia informasi yang lebih baik.
Kita dapat mengingat kembali semua kejadian ekonomi disekitar kita sehari-hari, bagaimana perilaku herding mempengaruhi orang mencari makan. Pada saat di Jakarta orang yang menjual pisang goreng Pontianak yang laris manis. Dijalan-jalan bermunculan lapak-lapak yang menjual pisang goreng yang sama, walaupun pada akhirnya menghilang hampir semuanya. Pada tahun 2006-2008, kita mendengar bagaimana kegilaan harga Anthurium, banyak orang membicarakannya dan berbondong-bondong banyak orang menanamnya karena dianggap sebagai investasi yang menguntungkan. Pada saat banyak orang menanamnya, penawaran Anthurium meningkat, harga jatuh dan tidak ada seorangpun yang berani berkata menanam Anthurim adalah cara untuk menjadi cepat kaya. Perilaku herding dalam kehidupan ekonomi sehari-hari kita sebut dengan perumpamaan “ada gula ada semut”, bila ada sesuatu yang menguntungkan, terdapat kecende-rungan banyak orang untuk menirunya.
Perilaku meniru yang mempunyai dampak luar biasa merusak dalam perekonomian Indonesia adalah saat terjadinya rush perbankan (bank run) saat krisis moneter 1998. Sewaktu gubernur Bank Indonesia mengumumkan untuk melikuidasi 16 bank pada 1 Nopember 1997 dengan tidak menjamin simpanan uang nasabah. Keputusan tersebut ternyata menciptakan ketakutan dan kepanikan masyarakat kehilangan uang simpanannya di bank. Rasa tidak aman dan tidak percaya membuat masyarakat segera menarik uangnya, ATM mengantri, antrian memanjang di teller bank.  Televisi menyiarkan, koran menjadikan headline, percakapan atas kepanikan dan ketakutan menular, media massa secara tidak sadar mempersuasi orang untuk menyebarkan ketakutan dan kepanikan. Semakin hari antrian menarik uang dari bank semakin banyak, orang yang semula percaya bahwa bank tersebut bagus mulai ragu, ia takut menjadi orang yang akhirnya kehilangan uangnya karena banyak orang sudah menyelamatkan diri. Bank yang sebelumnya sehat, tetapi karena perilaku herding dengan menarik uang dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan akan menjadi bank sehat menjadi sakit. Banyak kasus bank run di berbagai negara terindentifikasi bahwa perilaku herding sangat merusak, walaupun sebelumnya bank tersebut sehat atau setengah sakit perilaku tersebut secara cepat membunuhnya.
Pada awalnya, kebijakan melikuidasi bank yang dimaksudkan untuk memperbaiki perbankan yang sakit sebagaimana disyaratkan dalam Letter of Intent dengan IMF ternyata berdampak sebaliknya. Kebijakan tersebut merusak kepercayaan masyarakat dan membuat panik nasabah yang pada akhirnya membuat banyak bank menjadi sakit. IMF adalah penganut ekonomi neo-klasik yang tidak mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap perilaku manusia.  Ekonomi neo-klasik menganggap bahwa manusia seperti kalkulator dingin dalam berhitung dan membuat keputusan, tanpa emosi, tanpa perasaan. Kenyataan hidup sehari-hari, manusia adalah mahkluk yang tidak sepenuhnya rasional, keputusan yang di buatnya tidak hanya dipertimbangkan dengan rasionya tetapi juga dipengaruhi oleh emosi yang kadang terasa berlebihan.

Herding di Pasar Modal
Fenomena herding ini ditemukan pada tingkah laku pelaku pasar modal, baik individu, institusi, manajer dana (fund manager)[2] dan analsis saham di pasar modal. Jagadeesh dan Kim (2007) menemukan tingkah laku herding pada analis saham, rekomendasi yang diberikan tentang target harga dan prediksi laba cenderung tidak berbeda dengan rekannya di sekuritas lain dan cenderung menciptakan konsensus. Ini dapat di gambarkan demikian, bila sudah banyak analis saham yang merekomendasikan saham A dengan predikat buy, maka analis saham yang baru memberi rekomendasi cenderung mengikuti konsensus buy. Brunnermeier dan Nagel (2004) menyatakan bahwa pelaku arbitrase untuk mengeliminasi mispricing harga saham menunggu dan mengikuti aksi pelaku arbitrase lainnya, mereka tidak menentang arah pasar tetapi mengikuti arah pasar. Kita masih bisa mengingat ambruknya IHSG selama tiga hari berturut-turut pasca lebaran tahun 2008, semua investor mengalami panic selling, indeks pasar tiap hari merosot 10% sehingga pasar harus di suspend. Siapapun yang menentang arah pasar pada waktu itu, dengan melakukan pembelian akan menderita kerugian.
Perilaku herding menciptakan saham bersifat fads and fashion atau dalam analisis statistik ditemukan pola tail and fads (distribusi imbal hasil membentuk kurtosis atau ekor gemuk), karena saham dengan sektor tertentu menjadi mode dan terus diburu oleh investor, sebagai contoh pada menjelang akhir tahun 2006 di Bursa Efek Indonesia, saham-saham perbankan dan properti menjadi popular karena diburu investor dengan adanya sentimen penurunan suku bunga pasca kenaikan bahan bakan, dan pada tahun 2007 saham komoditi (pertanian dan pertambangan) menjadi mode dengan disokong sentimen booming harga komoditas. Menurut Cont dan Bouchaud (2000) herding ini membuat pasar modal menjadi berfluktuasi, karena pada saat saham sektor tertentu naik banyak yang memindahkan dananya pada saham yang booming, dan serentak menjual secara bersamaan dan mengakibatkan penurunan yang tajam. Fluktuasi yang tajam dalam harga pasar yang diterangkan oleh perilaku herding adalah keberadaan gelembung dan peluruhan harga asset.



[1] Psikologi evolusioner adalah salah satu pendekatan biologis untuk mempelajari perilaku manusia. Seiring dengan psikolog kognitif, psikolog evolusioner mengusulkan bahwa banyak, jika tidak semua, perilaku kita dapat dijelaskan dengan mekanisme psikologis internal.
[2]   Grinblatt el al (1985) menemukan bagaimana strategi manajer reksadana pada periode 1975-1984 dalam membeli saham didasarkan pada strategi momentum, dan strategi ini menjadi trend-followers karena imbal hasil yang tinggi dan tingkah laku herding membuat harga saham bergerak terus naik dan terus turun.